Di tengah keramaian desa yang tampak religius—berhias masjid megah, lantunan adzan, dan aktivitas ibadah yang semarak—tersimpan kepiluan yang dalam. Sebuah kepiluan yang tidak terlihat oleh mata biasa, namun dirasakan tajam oleh hati-hati yang masih peka terhadap nilai kebenaran. Ibadah ritual dijalankan dengan rajin, tetapi di sisi lain, kehidupan muamalah masyarakatnya compang-camping: riba dipraktikkan secara terbuka, suap bahkan hampir menjadi budaya, dan tidak segan kecurangan digunakan sebagai alat utama meraih sesuatu.
Bahkan yang lebih mengiris, praktik muamalah yg jelas dilarang oleh Tuhan, bahkan digunakan membangun rumah Tuhan. Ironi yang amat menyakitkan—membangun simbol ketakwaan dari fondasi keburukan.
Ketika Agama Dijalankan Secara Parsial
Inilah yang disebut sebagai fenomena beragama secara parsial. Ritualitas tinggi, namun moralitas keropos. Kesalehan pribadi tidak disertai integritas sosial. Padahal, Islam datang sebagai agama yang menyatukan antara hablumminallah (hubungan dengan Tuhan) dan hablumminannas (hubungan sesama manusia). Ketika muamalah rusak, maka sesungguhnya ibadah ritual tak lagi bermakna.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“Celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) yang lalai dari salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.”
(QS. Al-Ma’un: 4–7)
Bait-bait ayat ini seolah menggambarkan realitas kita: salat ditegakkan, tapi kejujuran ditinggalkan. Masjid dibangun, tapi hak orang lain dirampas untuk mendirikannya. Di sinilah agama tidak lagi menjadi jalan pencerahan, melainkan topeng pembenaran.
Uzlah: Pilihan Pahit tapi Logis
Dalam kondisi seperti itu, uzlah (menarik diri dari komunitas) menjadi pilihan yang menyakitkan tapi logis. Bukan karena ingin menjadi eksklusif, bukan karena membenci masyarakat, tetapi sebagai bentuk pernyataan sikap moral dan perlindungan diri dari kerusakan sistemik yang tak bisa diubah.
Uzlah bukan pelarian, tapi bentuk ijtihad sosial—berupaya menjaga iman dan prinsip saat lingkungan telah membusuk. Ia adalah benteng batin agar tidak ikut terseret dalam arus kerusakan berjamaah yang dibungkus dengan kemasan religius.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Akan datang suatu masa, di mana sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambing yang ia bawa ke puncak gunung dan lembah-lembah hujan, menjauh dari fitnah dan menjaga agamanya.”
(HR. Bukhari)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima kecuali yang baik.”
(HR. Muslim)
Rumah Tuhan yang dibangun dari dana haram, takkan menjadi tempat turunnya rahmat, karena Allah tidak menerima pembangunan-Nya dengan cara yang zhalim terhadap hak orang lain.
Membangun Ruang Aman: Komunitas Kecil Berintegritas
Uzlah bukan berarti putus dari dunia. Justru dari sanalah bisa lahir komunitas kecil yang bersih, jujur, dan adil. Seperti oasis di tengah padang pasir kemunafikan, kelompok kecil ini bisa menjadi tempat tumbuhnya harapan baru: Islam yang utuh, adil, dan membawa keberkahan, bukan sekadar tampilan.
Penutup: Jaga Diri, Jaga Nilai
Ketika agama tinggal bentuk dan simbol, maka meninggalkannya bukanlah dosa, tapi penyelamatan diri. Jika komunitas tak bisa diubah, maka setidaknya diri sendiri harus tetap dijaga. Inilah semangat uzlah: menjauh bukan karena benci, tapi karena cinta pada nilai yang benar.
“Jangan kamu dekati tempat yang kotor bila ingin tetap suci. Dan jangan kau bangun rumah Tuhan dari hasil menipu dan merampas hak saudaramu sendiri.”
Semoga kita diberi kekuatan untuk tetap istiqamah dalam iman, meski harus menempuh jalan sunyi bernama uzlah.
By: Andik Irawan